Kamis, 24 Agustus 2017

Sembilan Elemen Jurnalisme



                                                          Andreas Harsono

HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach.
The Elements of Journalism:
What Newspeople Should Know and the Public Should Expect
Oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (April 2001) 205 halaman
Crown $20.00 (Hardcover)

HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.

Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.

Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Dalam buku ini BILL Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.

Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah masyarakat (citizens).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.

Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.


BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.

Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”

Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
- Jangan menambah atau mengarang apa pun;
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
- Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”
- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.


MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.

Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.

Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.

Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.


ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.


SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.
Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.


SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.” *

Penulis : Andreas Harsono


Selasa, 01 Agustus 2017

Putusnya Perkawinan Karena Perceraian


1.      Pendahuluan
Perkawinan merupakan sebuah institusi yang mengandung multi-aspek dan multidimensi. Keberagaman aspek yang terkandung dalam lembaga ini berjalan sepanjang usia perkawinan iu sendiri. Aspek aspek itu sendiri terlihat relatif merata yang satu tidak mendominasi aspek lain. Aspek-aspek tersebut seperti telah kita ketahui adalah aspek personal (individual), aspek sosial, aspek ritual, aspek moral, dan aspek kultural.
Keberagaman aspek yang terkandung dalam institusi tersebut merupakan suatu tanda (qarianah) bahwa persekutuan suci itu suatu syariat yang tinggi derajat dan luhur nilainya. Demikian pentingnya lembaga ini, menempatkan perkawinan pada posisi sentral dan strategis dalam sistem kekeluargaan menurut Islam.
Oleh sebab itu dalam ajaran Islam hal-hal atau perbuatan yang dapat mengancam persekutuan suci ini harus dihindarkan darinya untuk dan kita berusaha untuk melestarikannya. Diantara upaya upaya untuk terwujudnya tujuan tersebut, dilarangnya perkawinan yang sebatas untuk mencicipi, sekedar,merasai atau kawin cerai.
Perkawinan merupakan  sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Terkadang suami istri gagal dalam usahanya mendirikan rumah tangga yang bahagia dan damai yang dikarenakan mereka berlainan tabiat, kemauan dan tujuan hidup dan cita-cita sehingga selalu terjadi perselisihan dan pertengkaran antara mereka berdua. Untuk itu jalan terakhir yang ditempuh adalah perceraian. Sementara menurut pasal 38 UU No 1 tahun 1974 putusnya perkawinan adalah berdasarkan kematian, perceraian dan keputusan pengadilan.
Dari hasil pendahuluan di atas penulis akan menjelaskan di awali Apa Pengertian Perceraian, bagaimana Pelaksanaan Nya Dalam UU, apa saja penyebab putusan perkawinan akibat perceraian sampai dengan bagaimana antisipasi terhadap putusnya perkawinan. Tujuan dari pada penulisan makalah ini agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian perkawinan dan pelaksanaan nya dalam undang-undang hingga cara antisipasi terhadap putusnya perkawinan.
II. Pembahasan
A.    Pengertian Perceraian dan pelaksanaanya dalam UU
Perceraian menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti perihal bercerai antara suami dan istri, yang kata “bercerai” itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami isteri”. Menurut KUH Perdata pasal 207 perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan- alasan yang tersebut dalam Undang-Undang.[1]  
Pengertian perceraian sendiri dalam KHI secara jelas ditegaskan dalam pasl 117 yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapkan sidang pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut dapatlah diperoleh pemahaman bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang sah dengan menggunakan lafadz talak atau semisalnya.
Undang-undang perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian, karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan maksud mempersukar terjadinya perceraian maka ditentukan bahwa melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.[2]
Perceraian juga merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa diawali pernikahan. Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic Law, perkawinan adalah sebuah kontrak yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk mengarungi kehidupan sebagai pasangan suami isteri dengan dilandasi adanya kerelaan dari kedua belah pihak. Perkawinan dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang memiliki arti penting dalam penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban.[3]
   Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (aqad), maka pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir tidak dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian.[4]
Dalam Agama Islam perceraian pada prinsipnya dilarang. Hal ini dapat kita lihat dari sabda Rasulllah Saw:
Artinya: Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian).” HR. Abu Daud dan Al-Hakim.[5]
Setelah kita memperhatikan hadis tersebut, maka perceraian sebenarnya adalah jalan terakhir, yaitu setelah tidak mungkin lagi suami istri hidup bersama dalam satu rumah tangga.
Penggunaan hak cerai yang serampangan tersebut bukan saja merugikan kedua belah pihak, tetapi juga terutama anak turunan dan juga masyarakat. Banyak anak yang kehidupam orang tuannya berantakan, tumbuh menjadi anak-anak nakal (juvenile deliquemcy) dan masalah sosial lainnya.
Untuk mengatasi masalah ini, undang-undang berusaha mengatasi nya dengan memberikan aturan, baik tatacara, alasan serta usaha lainnya. Usaha tersebut pada hakikatnya berupaya menekan intensitas perceraian dan segala eksesnya.
Dalam penjelasan umum angka 4 huruf e dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera. Maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Untuk membungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.[6]
Dari rumusan pasal 39 UUP serta penjelasan umum angka 4 huruf e tersebut, prinsip pengadilan Agama dalam hal menangani masalah perceraian adalah tidak membuka lebar lebar pintu perceraian. Bahkan pendailan berupaya sekuat tenaga untuk menutup pintu tersebut bila alasan untuk perceraian tidak terpenuhi serta masih adanya harapan untuk dapat hidup rukun damai kembali.
Oleh karena itu tugas hakim dalam menangani peceraian adalah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, bila dipandang perlu, agar meminta bantuan orang atau lembaga penasihat semacam BP.[7] Usaha untuk mendamaikan itu harus dilakukan setiap kali sidang.[8] Apabila usaha perdamaian itu berhasil dan kedua belah pihak dapat rukun kembali dan di lain waktu terjadi permohonan cerai, maka alasan yang sama tidak dapat diajukan kembali sebagai gugatan yang baru.[9] Hakim yang Bergama Islam akan mendapat murka Allah apabila ia mempermudah perceraian sebab perceraian sangat dibenci oleh Allah.[10]
Putusnya perkawinan menurut UU No. 1/ 1974 karena tiga hal, pertama karena kematian, kedua, karena perceraian, dan ketiga, karena putusan pengadilan (Pasal 38 huruf a,b, dan c). sedangkan peraturan pemerintah No 9/1975 menggunakan istilah cerai talak, untuk perceraian. Adapun perceraian karena putusan pengadilan (Pasal 38 huruf c) menggunakan isilah cerai gugatan. Perbedaan antara perceraian atau cerai talak dengan karena putusan pengadilan adalah perceraian adalah ikrar suami di depan sidang pengadilan, sedangkan putusnya perkawinan karena putusan pengadilan atau dalam istilah PP/1975 cerai gugatan adalah perceraian yang terjadi karena gugatan salah satu pihak dari suami istri tersebut, atau suatu perceraian akibat putusan pengadilan.
Dalam agama Islam gugatan dilakukan dari pihak isteri, sedangkan suami tidak perlu melakukan itu, namun memakai cara lain, yaitu talak. Adapun menurut selain Islam, gugatan perceraian dapat dilakukan oleh kedua pihak, baik istri maupun suami. Yang ditujukan ke pengadilan Negeri (Pasal 210 PP dan penjelasanya.[11]
Adapun mengenai masa berlakunya perceraian itu sendiri, ada perbedaan antara orang Islam (yang dilaksanakan di pengadilan Agama) dengan orang yang buka orang Islam (melaksanakan di pengadilan Negeri). Bagi yang beragama Islam, putusnya perkawinan, baik melalui ikrar talak atau melalui gugatan cerai dinyatakan sah dan berlaku sejak saat talak itu diikrarkan atau sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama telah mempunyai kekuatan hukum.[12] Dan keputusan itu juga berlaku terhadap segala akibat perceraian . adapun bagi bagi orang selain Islam dan dilaksanakan di Pengadilan Negeri, perceraian dan segala akibatnya dianggap terjadi sejak putusan tersebut didaftarkan pada pegawai Pencatatan. Jadi, walaupun putusan terntang perceraian itu telah lama jatuh, keberlakuannya baru dianggap setelah terdaftar dan dicatat oleh pegawai Pencatat.[13]
Oleh sebab itu, kalau terjadi keterlambatan dalam pengiriman pegawai pencatat dan merugikan kedua pihak (suami atau istri atau keduanya), hal ini menjadi tanggung jawab panitera Pengadilan yang menangani perkara ini.[14]

B.     Sebab Putusnya perkawinan Karena Perceraian
Abul A’la Maududi mengatakan, salah satu prinsip perkawinan Islam adalah bahwa ikatan perkawinan itu harus diperkuat sedapat mungkin. Oleh karena itu, segala usaha harus dilakukan agar persekutuan tersebut dapat terus berlangsung. Namun, apabila semua harapan dan kasih saying telah musnah dan perkawinan menjadi sesuatu  yang membahayakan sasaran hukum untuk kepentingan mereka dan kepentingan masyarakat, maka perpisahan di antara mereka boleh dilakukan. Islam memang berusaha untuk menguatkan ikatan perkawinan, namun berbeda dengan ajaran agama lain, islam tidak mengajarkan bahwa pasangan perkawinan itu tidak dapat dipisahkan lagi. Bila pasangan tersebut telah benar-benar rusak dan bila mempertahankannya malah akan menimbulkan penderitaan yang panjang bagi kedua belah pihak dan akan melampaui ketentuan Allah, ikatan itu harus dikorbankan.[15]
Keberadaan institusi perkawinan menurut hukum Islam dapat terancam oleh berbagai perbuatan para pelaku perkawinan itu sendiri, baik itu dilakukan pria maupun oleh wanita. Perbuatan- perbuatan tersebut dapat merusak perkawinan, terhentinya hubungan untuk beberapa saat, dalm waktu yang lama bahkan terputus untuk selamanya, sangat bergantung pada jenis perbuatan yang mereka lakukan.
Perbuatan yang merusak perkawinan tersebut pada dasarnya adalah suatu kondisi baik yang terdapat pada pria maupun wanita yang menyebabkan pihak lain mempunyai hak untuk mengakhiri persekutuan tersebut. di samping itu, perbuatan perbuatan tadi biasa berakibat fatal yang tidak mungkin diperbaiki walaupun melalui perkawinan baru. Namun dapat dapat saja diperbaiki melalui ruju’ atau pun hanya kerusakan itu hanya sekedar terhentinya aktivitas hubungan seksual tanpa merusak ikatan perkawinan dan satu lagi persekutuan tadi juga berakhir, akibat suatu hal diluar kehendak yang bersangkutan, melalui seleksi alam. Untuk lebih jelas marilah kita lihat penyebab terjadinya putus perkawinan akibat perceraian secara rinci.[16]
a.       Talak
Secara harfiyah talak itu berarti lepas dan bebas. Dihubungkan dengan thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. [17]Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan Agama karena suatu sebab tertentu. Tentang hukum asal talak, para ulama berbeda pendapat. Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa talak itu terlarang. Kecuali jika diserta dengan alasan yang benar.
Menurut mereka talak itu kufur (ingkar, merusak, menolak) terhadap nikmat Allah, sedangkan perkawinan adalah salah satu nikmat Allah dan kufur terhadap terhadap nikmat Allah adalah haram. Oleh karena itu, tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku istrinya atau telah hilangnya perasaan cinta di antara keduanya. Tanpa alasan tersebut, perceraian adalah kufur terhadap kemurahan Allah.
Memang tidak terdapat dalam Alquran ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukan nya. Walaupun banyak ALquran yang mengatur talak namun isinya hanya sekedar mengatur bila talak mersti terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau larangan. Kalau mau men-talak seharusnya sewaktu istri itu berada dalam keadaan yang siap untuk memasuki masa iddah, seperti dalam firman Allah dalam surat At-Thalaq (65) ayat 1:
Artinya: hai nabi bila kamu menalaq istrimu, maka talak-lah dia sewaktu masuk ke dalam iddahnya.
  Demikian pula dalam bentuk melarang, seperti firman Allah dalam surat Al-baqarah (2) ayat 232:
Artinya: Apabila kamu menalak istrimu dan sampai masa iddahnya, maka janganlah kamu enggan bila dia menikah dengan suami yang lain.
Meskipun tidak ada ayat Alquran yang menyuruh atau melarang melakukan talak yang mengandung arti hukumnya mubah, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi Nabi. Hal itu mengandung arti perceraian itu hukumnya makruh. Adapun ketidaksenangan Nabi kepada perceraian itu terlihat dalam hadisnya dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh hakim, sabda Nabi:
Artinya: perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak
Meskipun hukum asal dari talak itu adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum talak itu adalah sebagai berikut:
(1)   Nadab atau Sunnah: yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemudaratan yang lebih banyak akan timbul.
(2)   Mubah atau boleh saja dilakukan bila memamg perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga kelihatan.
(3)   Wajib atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudaratkan istrinya.
(4)   Haram talak itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.[18]
b.      Khulu
Khulu berasal dari kata Khala’a ats- tsauba yang artinya menanggakan pakaian, melepaskan baju. Di istilahkan dengan melepas pakaian sebab Al-quran memberikan nama bagi suami istri sebagai pakaian lawannya, artinya suami sebagai pakaian istri, sebaliknya istri sebagai pakaian suami, sebagaimana tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 187:
Artinya: mereka (perempuan perempuan)itu sebagai baju bagimu dan kamu (laki-laki) sebagai baju mereka.
Maksud khulu’ yang dikehendaki menurut ahli fikih adalah permintaan istri kepada suaminya untuk menceraikan (melepaskan) dirinya dari ikatan perkawinan dengan disertai pembayaran I’wadh, berupa uang atau barang, kepada suami dari pihak istri sebagai imbalan penjatuhan talaknya.[19] Namun demikian, seperti halnya penjatuhan talak, permintaan Khulu pun hanya dapat diajukan dalam keadaan yang luar biasa. Namun, apabila Khulu diadakan Karena alasan yang lemah, mengada-ada, si wanita di ancam oleh Nabi Muhammad dengan sabdanya: Artinya wanita manapun yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan (yang dapat diterima) diharamkan baginya wewangian surga.
Khulu’ juga dinamai dengan talak tebus, karena si istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa apa yang pernah diterima dari suaminya. Tindakan istri seperti ini dibenarkan oleh Alquran seperti tertera dalam surat Albaqarah ayat 229:
Artinya: Tidak halal bagi kamu untuk mengambil apa-apa yang telah kamu berikan kepada istri-istrimu (baik berupa mahar atau nafkah, dan lain-lain), kecuali jika mereka khawatir tidak dapat menjalankan perintah Allah (yang menyangkut hak dan kewajiban masing-masing). Maka jika mereka takut hal yang demikian, tidak ada halangan bagi keduanya untuk menebus dirinya dengan harta.”
Talak tebus ini boleh dilakukan dalam segala keadaan, di waktu suci maupun di waktu haid sebab talak ini di ajukan atas kemauan si istri dan dia sendiri yang emanggung segala akibat. Talak tebus ini biasanya tidak terjadi, kecuali bila karena perasaan istri sudah tak tertahankan lagi, sehingga semua resiko kerugian sudah tidak dihiraukan lagi.
Akibat hukum dari talak tebus ini adalah ba’in sughra sehingga suami tidak dapat meruju istrinya dalam masa iddah. Hal ini Karen asuami tidak mempunyai hak lagi pada istrinya karena kehendak perceraian datang dari pihak istri. Hak itu hilang karena suami telah menerima imbalan tadi. Kalau hak ruju’ itu tidak hilang apalah artinya pengorbanan materil si istri. Kalau ada keinginan untuk bersatu lagi dari pihak suami, harus melalui perkawinan baru. Itu pun harus ditentukan oleh kerelaan mantan istri sebab ia mempunyai hak milik mutlak yang tidak dapat dapat dipaksa, seperti keadaan suami yang mempunyai ’ruju’ oada kasus talak raji’i.[20] 
Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak di atur sama sekali dalam UU perkawinan, namun KHI ada mengaturnya dalam dua tempat, yaitu pada pasal 1 ayat (1) dan pasal 124 yang bunyinya:[21]
Pasal 1
(i)                 Khulu adalah pecrceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwdh kepada dan atas persetujuan suaminya.
Pasal 124
(ii)               Khulu harus berdasarkan atas alasan peceraian sesuai ketentuan pasal 116.

c.       Zhihar
Menurut bahasa, zhihar diambil dari kata zahr yang artinya punggung. Yang dimaksud dengan Zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang menyerupakan badan atau anggota badan istri dengan badan ibunya. Seperti kata kata suami kepada istrinya, “badanmu atau punggungmu seperti badan atau punggung ibuku”. Apa bila seorang laki-laki berkata seperti itu, haram baginya istrinya itu dan apabila dia ingin men-dukhul-nya, dia terlebih dahulu harus membayar kifarat.[22]
Zhihar pada zaman jahiliyah dianggap menjadi talak, kemudian diperbaiki Islam dengan membayar kafarat. Dasar hokum zhihar ini adalah surat Al-Mujadalah ayat 2:
Artinya:  orang-orang yang menzhihar istrinya bukanlah itu ibunya, sesunguhnya ibu-ibu mereka adalah yang melahirkan mereka dan mereka mengatakan perkataan yang munkar, dan sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun”.
Adapun sanksi bagi mereka yang melakukan zihar disebutkan dalm surat yang sama pada ayat 3:
Artinya:  orang orang yang menzhihar istrinya mereka, kemudian mereka hendak kembali (menarik ucapan mereka), maka wajib atas laki-laki tersebut memerdekakan seorang budak sebelum laki-laki itu mencampuri istrinya”.

C.    Antisipasi Terhadap Putusnya Perkawinan
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai mati salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dan usaha melanjutkan rumah tangga . putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.
Ada tiga hal secara gamblang menunjukkan usaha antisipasi terhadap putusnya perkawinan, yaitu nusyuz di pihak istri, nusyuz dari pihak suami dan pertengkaran atau Syiqaq di antara keduanya, dan tatacara menyelesaikan ketiga hal tersbut yang di uraikan di bawah ini.[23]
(a)   Nusyuz Istri
Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti itifaq’ yang berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan istri nusyuz terhadap suaminya berarti istri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suami, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara defenitif nuzyuz diartikan dengan “Kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa yang yang diwajibkan Allah atasnya”.
 Nusyuz itu hukumnya haram karena sudah menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui Alquran dan hadi Nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya berhak atas dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istri. Atas perbuatan itu si pelaku mendapat ancaman di antaranya gugur haknya sebagai istrinya  istri dalam masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyuz itu tidak denga sendirinya memutus ikatan perkawinan.
Allah SWT menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan nusyuz-nya seorang istri, sebagaimana dinyatakan nya dalam surat An-Nisa ayat 34:
Artinya: Istri-istri kamu khawatirkan akan berlaku nusyuz, maka beri pengajarnlah mereka dan berpisahlah dari tempat tidur dan pukullah mereka. Jika mereka sudah menaatimu janganlah kamu cari jalan-jalan atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Tahu lagi Maha Besar.
Ada tiga tahapan secara kronologis yang harus dilalui dalam menghadapi istri nusyuz sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut di atas:
Pertama bila terlihat tanda-tanda bahwa istri akan nusyuz, suami harus memberikan peringatan dan pengajaran kepada istrinya dengan menjelaskan bahwa tindakannya itu adalah sebuah salah menurut agama dan menimbulkan resiko ia dapat kehilangan haknya.
Kedua bila istri tidak memperlihatkan perbaikan sikapnya dan memang secara nyata nusyuz itu telah terjadi dengan perhitungan yang objektif, suami melakukan usaha berikutnya yaitu pisah tidur, dalam arti menghentikan hubunga seksual. Menurut oelama hijrah dalam ayat itu juga berarti meninggalkan komunikasi dengan istri. Bila cara ini yang ditempuh, tidak boleh dari tiga hari.
Dalam tahap ini yang boleh dilakukan hanyalah pisah Rajang dan tidak boleh memukulnya, berdasarkan ayat zahir di atas.
Ketiga, bila dengan pisah ranjang istri belum memperlihatkan adanya perbaikan, bahkan tetap dalam keadaan nusyuz, maka suami boleh memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam hal ini adalah dalam bentuk ta’dibi atau edukatif, bukan atas dasar kebencian.[24]

(b)   Nusyuz Suami
Nusyuz suami mengandung arti pendurhakan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya.
Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri di antaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut istrinya dengan cara yang buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asa pergaulan baik. Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 128:
Artinya: Jika istri khawatir suaminya akan berlaku nusyuz dan berpaling tidak ada salahnya jika keduanya melakukan perdamaian dalam bentuk perdamaian yang menyelesaikan. Berdamai itu adalah cara yang paling baik, hawa nafsu manusia tampil dalam bentuk pelit. Bila kamu berbuat baik dan bertakwa maka sesungguhnya Allah maha Tahu atas apa yang kamu perbuat.
Adapun yang dimaksud dari ayat diatas adalah perundingan yang membawa perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya. Di antaranya dengan kesediaan istri untuk dikurangi hak materi dalam bentuk nafaqah atau kewajiban nonmateri dalam asrti kesedian untuk memberikan giliran bermalamnya untuk digunakan suami kepada istrinya yang lain. Cara ini pun termasuk salah satu langkah untuk menghindari terjadinya perceraian.[25]

(c)    Syiqaq
  Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini timbul bila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya. Bila terjadi konflik keluarga seperti ini Allah SWT. Memberi petunjuk menyelesaikannya. Hal ini terdapat firman Allah pada surat An-Nisa (4) ayat 35 yang bunyinya:
Artinya:  jika kamu khawatir akan terjadinya pertengkaran di antara suami istri, maka utuslah seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Bila keduanya menghendaki perdamaian, maka Allah akan member taufik di antara keduannya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha Memerhatikan.
Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut.[26]
Secara kronoligis Ibnu Qudamah menjelaskan langkah dalam menghadapi konflik tersebut:
Ø  Hakim mempelajari dan meneliti sebab terjadinya konflik tersebut. bila ditemui penyebabnya adalah karena nusyuz istri, ditempuh jalan penyelesaian sebagaimana pada kasus nusyuz tersebut di atas. Bila ternyata konfliknya dari nusyuz suami maka hakim mencari seorang yang disegani suami untuk menasehatinya untuk tidak berbuat kekerasan terhadap istrinya. Apabila konflik nya timbul dari keduanya dan keduanya saling menuduh pihak lain dan tidak ada yang mengalah, maka hakim mencari seorang yang berwibawa untuk menasehati keduanya.
Ø  Bila langkah tesebut tidak menghasilkan hasil dan ternyata pertengkaran kedua belah pihak semakin menjadi, maka hakim menunjuk seseorang dari pihak suami dan seseorang dari  istri dengan tugas untuk menyelesaikan konflik tersebut. kepada keduanya diserahkan wewenangnya untuk menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu kalau tidak mungkin menceraikan keduanya tergantung kepada pendapat keduanya mana yang paling baik dan mungkin diikuti.

  Dari tiga usaha antisipasi tersbut di atas semakin jelas bahwa Allah SWT. Menghendaki adanya usaha untuk mencegah terjadinya perceraian antara suami istri. Namun bila tidak ditemukan kemungkinan lain dengan segenap usaha yang ada, maka perceraian dapat ditempuh.[27]

III.       PENUTUP
Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan yakni  perceraian merupakan sebuah perbuatan yang sangat di benci oleh Allah Swt dalam pandangan ke agamaan, maka begitu juga hukum proses pelaksanaan perceraian yang berlaku di Indonesia sangat disulitkan untuk kita untuk melakukan perceraian, karena perbuatan itu pula dilihat selain dapat merugikan kedua belah pihak dapat merusak ke anak anaknya dan menyebabkan banyak anak yang nakal atau secara istilah juvenile deliquemcy.
Putusnya perkawinan disebabkan oleh Talak, Khulu (Permintaan Istri dengan memberikan tebusan atau iwad dan pula atas persetujuan suami).  Zihar (Ucapan suami kepada istrinya menyerupakan badan atau anggota badan istri dengan badan ibunya). Akan tetapi didalam sumber hukum Indonesia permasalahan itu tidak disebutkan didalam pasal baik dari UUP, melainkan hanya terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam.
Setelah kita mengetahui bahwasanya perceraian merupakan sebuah perbuatan yang tidak disukai oleh Allah. Begitu pula dengan hukum Indonesia menyulitkan akan perceraian maka kita harus mengetahui antisipasi terhadap terjadinya putus perkawinan yaitu Nusyuz istri ( Istri merasa lebih tinggi derajatnya dari Suami), Nuyuz Suami (perbuatan buruk kepada istrinya), dan Syiqaq ( suami dan istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya).






Daftar Kepustakaan
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, 2006. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, 2006. Jakarta; Kencana.
M. Ali Hasan. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam., 2003. Jakarta: Prenada Media.
UU No 1 Tahun 1974. Yayasan  Peduli Anak Negeri. No 1, di akses tanggal 8/4/17
PP No 9 Tahun 1975. www.djpp.depkumham.go.id.  Diakses tanggal 8/4/17.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.2007. Jakarta:  Prenada Media Group.
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam. 2000. Bandung: CV Pustaka Setia.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, 1985, Jakarta: Intermasa.

Sumaersono, Lampiran UUP Dengan penjelasannya, 1991, Jakarta: Rineka Cipta.






    



[1]  Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,( Intermasa: Jakarta 1985). Hlm, 23.
[2]  Sumaersono, Lampiran UUP Dengan penjelasannya, ( Rineka Cipta: Jakarta 1991). H 307
[3] Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. h, 132.
[4]  Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana: Jakarta, 2006 , h, 23.
[5] M. Ali Hasan. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam., Prenada Media: Jakarta, 2003, h, 169.
[6] , Pasal 39 ayat (1), (2),(3). UU No 1 Tahun 1974. Yayasan  Peduli Anak Negeri.  
[7] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam. Pustaka Setia: Bandung., h, 167.
[8] Pasal 31 Ayat (1) dan (2), PP No 9 Tahun 1975..  www.djpp.depkumham.go.id.  Diakses tanggal 4/8/17.
[9] Pasal 32 PP. Ibid.
[10] Rahmat Hakim, Ibid., h.167.
[11] Ibid., h., 168.
[12] Pasal (18) dan Pasal  (34) ayat (2). PP No 9 Tahun 1975. www.djpp.depkumham.go.id.  Diakses tanggal 4/8/17.

[13] Pasal 34 ayat (2)., Ibid.
[14] Pasal 35 ayat (3)., Ibid.
[15] Rahmat hakim, Hukum Perkawinan Islam.  Pustaka Setia: Bandung., h. 145.
[16] Ibid.,h. 146.
[17]  Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Prenada Media Group: Jakarta., h. 198.
[18]  Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Prenada Media Group: Jakarta., h. 200.
[19]  Rahmat hakim, Hukum Perkawinan Islam.  Pustaka Setia: Bandung., h. 171.
[20] Ibid., h. 174
[21]  Pasal 1 dan 124., Kompilasi Hukum Islam. Di akses tanggal 4/9/17. Jam 10.58.
[22]  Rahmat hakim, Hukum Perkawinan Islam.  Pustaka Setia: Bandung., h.177.
[23] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Prenada Media Group: Jakarta., h. 191.
[24] Ibid., h. 192.
[25] Ibid., h. 193.
[26] Ibid., h. 195
[27] Ibid., h. 197.

HPN 2019

Selamat Hari Pers Nasional 2019